Jarang-jarang loh pagi-pagi udah ngeblog gini tapi bahasan kali ini saya pikir seru banget. Belakangan ini berita sedang heboh melanda seorang perempuan berhijab. Rina Nose. Aktris sekaligus presenter ini memutuskan untuk menanggalkan jilbabnya yang merupakan pakaian ia sehari-hari. Sudah pasti banyak sekali warganet mempeributkan akan hal itu apalagi Rina Nose merupakan public figure. Bukan hanya warganet tetapi juga sahabat turut mempertanyakan.
Saya sebagai perempuan berhijab cukup salut dengan keputusan yang diambil. Coba pikir di Indonesia segala sesuatunya akan menjadi bahasan apalagi ini seorang perempuan yang menanggalkan hijabnya yang sebelum itu telah memutuskan untuk menyelimuti kepalanya dengan selembar kain. Keberanian yang Rina Nose lakukan dalam mengambil keputusan serta konsekuensi yang harus diterima saya acungi jempol. Warganet berama-ramai menghakimi bahwa apa yang dilakukan adalah Dosa. Berbicara mengenai Dosa sebenarnya cukup kompleks. Tetapi satu hal yang saya yakini bahwa urusan dosa ialah urusan Rina dengan Tuhan.
"Tapi zar, kita sebagai umat muslim harusnya mengingatkan"
Iya memang harus mengingatkan tetapi tidak diiringi dengan sebuah penghakiman atas apa yang dilakukan. Nabi Muhammad SAW dalam menyebarkan islam saja secara diam-diam dalam artian tidak menggembar-gemborkan. Beliau punya taktik tersendiri. Saya pikir ada korelasinya kedua kalimat tersebut yang dalam artian lakukanlah secara perlahan hargai mereka, tidak diiringi tuduhan bahkan celaan. Bisa didampingi atau sekedar mendengarkan apa yang menjadi keluh kesahnya. Sayangnya orang-orang akan mencela tanpa tahu alasan dibalik itu semua.
Apa yang terjadi dengan Rina pernah dialami oleh seorang teman kuliah saya. Perempuan ini dari awal memang sudah menggunakan hijab hingga suatu pagi dia datang tanpa menggunakan hijab. Awalnya saya tidak mengetahui karena mengira bahwa ia teman saya yang lain hingga seorang teman memberitahukan saya
"Eh itu (menunjuk seseorang) si X, dia lepas jilbab"
Bisik-bisik kecil banyak saya dengarkan selama di kelas mempertanyakan kenapa si X ini mulai melepas jilbab. Setahu saya saat itu pun tidak ada yang mendekatinya hingga besoknya saya mulai melihat dia memakai hijabnya kembali. Saya tidak mengetahui alasan kenapa dia menanggalkan dan mulai menggunakannya kembali. Saat itu saya hanya berpikir
"Jika itu memang kehendak si X ya mau gimana lagi. Saya yakin di usianya sekarang dia sudah bisa memutuskan apa yang terbaik dalam hidupnya dan alasan dibalik ia mengambil keputusan tersebut. Masalah Dosa biarlah itu urusannya dengan yang Diatas"
Saya tidak membenarkan keputusan yang diambil. Tetapi ingin rasanya memberi semangat dengan berkata "Its okay itu keputusan kamu kok". Sayangnya saat itu saya dengan si X tidak terlampau dekat sehingga akan aneh jika saya tiba-tiba mendekatinya.
Saya juga sangat setuju dengan artikel yang di muat di Magdalene. Bahwa mereka yang memutuskan untuk menanggalkan hijab adalah dengan diberi semangat bukan untuk ditanyai ini itu, dihakimi, bahkan dicela. Parahnya dalam kasus Rina Nose terdapat seorang ulama yang ditanyai oleh jamaahnya mengenai kasus ini tetapi beliau malahan menghina bentuk fisik dari aktris tersebut. Menyayangkan sekali jika seorang ulama besar bukan untuk memberi panutan pada jemaahnya tetapi melakukan yang seharusnya tidak dilakukan.
Di Indonesia memang akan sangat aneh apabila melihat seorang perempuan yang menanggalkan hijab karena kondisi sosial budaya masyarakat. Belum lagi hijab sebagai simbol keagamaan seorang muslimah sangat dianjurkan untuk digunakan dalam Kitab Al-Quran dan melepasnya seakan dia menjauhi Allah bahkan disebut murtad hingga atheis. Bagi mereka yang melalui proses panjang dalam memikirkan hal ini merasa bahwa keputusan ini adalah keputusan yang harus diambil, lain halnya bagi mereka yang secara tiba-tiba ingin langsung melepas hijabnya. Sekali lagi ini bukan membenarkan kok cuma saya sedikit terganggu juga dengan penghakiman atas seorang perempuan yang menanggalkan hijabnya. Bukankah setiap orang memiliki opini masing-masing :).
souce pic : pinterest